GAMELAN
Gamelan Jawa merupakan Budaya Hindu yang digubah oleh Sunan Bonang,
guna mendorong kecintaan pada kehidupan Transedental (Alam Malakut)
"Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. Sampai saat ini
tembang tersebut masih dinyanyikan dengan nilai ajaran Islam, juga pada
pentas-pentas seperti: Pewayangan, hajat Pernikahan dan acara ritual
budaya Keraton.
Gamelan Jawa merupakan Budaya Hindu yang digubah oleh Sunan Bonang, guna mendorong kecintaan pada kehidupan Transedental (Alam Malakut) "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. Sampai saat ini tembang tersebut masih dinyanyikan dengan nilai ajaran Islam, juga pada pentas-pentas seperti: Pewayangan, hajat Pernikahan dan acara ritual budaya Keraton.
Gamelan Jawa merupakan Budaya Hindu yang digubah oleh Sunan Bonang, guna mendorong kecintaan pada kehidupan Transedental (Alam Malakut) "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. Sampai saat ini tembang tersebut masih dinyanyikan dengan nilai ajaran Islam, juga pada pentas-pentas seperti: Pewayangan, hajat Pernikahan dan acara ritual budaya Keraton.
Wayang Kulit
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan
Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan
orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme.
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri . Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu
Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri . Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu
Tarian Jawa
Tarian pada masa kerajaan mencapai tingkat estetis yang tinggi. Jika
dalam lingkungan rakyat tarian bersifat spontan dan sederhana, maka
dalam lingkungan istana tarian mempunyai standar, rumit, halus, dan
simbolis. Jika ditinjau dari aspek gerak, maka pengaruh tari India yang
terdapat pada tari-tarian istana Jawa terletak pada posisi tangan, dan
di Bali ditambah dengan gerak mata.
Tarian yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa, adalah bentuk teater tari seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Bedhaya Ketawang adalah tarian yang dicipta oleh raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan berlatar belakang mitos percintaan antara raja Mataram pertama (Panembahan Senopati) dengan Kangjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan/Samudra Indonesia ) (Soedarsono, 1990). Tarian ini ditampilkan oleh sembilan penari wanita.
Tarian yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa, adalah bentuk teater tari seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Bedhaya Ketawang adalah tarian yang dicipta oleh raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan berlatar belakang mitos percintaan antara raja Mataram pertama (Panembahan Senopati) dengan Kangjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan/Samudra Indonesia ) (Soedarsono, 1990). Tarian ini ditampilkan oleh sembilan penari wanita.
Keris Jawa
Keris pusaka atau tombak pusaka, keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsur batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada sang maha pencipta alam (Allah SWT) dengan daya spiritual oleh sang empu. Sehingga kekuatan spiritual sang maha pencipta alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan magis yang dapat mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu.
Kethoprak
Ketoprak kalebu salah sawijining kesenian rakyat ing Jawa Tengah.
Ketoprak wis nyawiji dadi budaya masyarakat Jawa tengah lan biso
ngasorake kesenian liyane, umpamane Srandul, Emprak lan sak liyane.
Ketoprak wiwit bebukane awujud dedolanan para priyo ing dusun kang lagi
nganaake lelipur sinambi nabuh lesung kanthi irama ana ing waktu wulan
purnama ndadari , kasebut Gejog. Ana ing tembe kaering tembang
bebarengan ing kampung /dusun kanggo lelipur . Sak teruse ana tambahan
gendang, terbang lan suling, mula wiwit saka iku kasebut Ketoprak
Lesung, kira-kira kadadeyan ing tahun 1887. Sak banjure ana ing tahun
1909 wiwitan dianaake pagelaran Ketoprak kanthi paripurna/lengkap.
Pagelaran Ketoprak wiwitan kang resmi ing ngarsane masyaraket/umum, yokuwi Ketoprak Wreksotomo, dipandegani dening Ki Wisangkoro, sing mandegani kabeh para pria.
Pagelaran Ketoprak wiwitan kang resmi ing ngarsane masyaraket/umum, yokuwi Ketoprak Wreksotomo, dipandegani dening Ki Wisangkoro, sing mandegani kabeh para pria.
Wayang Orang Wanita |
Jumat, 04 Juli 2008 13.52 WIB
Oleh: Dewi Ellya Ikayanti |
Sejumlah seniman wayang orang mementaskan salah satu babak dalam pementasan wayang orang "Srikandi-Srikandi" di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Jateng, Kamis (3/7) malam. Solo adalah nama sebuah kota di provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kota Solo memiliki semboyan BERSERI yang merupakan akronim dari Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah. Selain itu Solo juga memiliki slogan pariwisata Solo the Spirit of Java yang diharapkan bisa membangun pandangan kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Kota Solo dikenal sebagai Kota Budaya karena banyaknya pertunjukan seni dan budaya yang ada di sini, seperti Gamelan, Tari-tarian Jawa, Wayang Kulit, Wayang Orang, yang merupakan sebagian pertunjukan budaya yang masih dilakoni dan diminati oleh masyarakat Solo. Potensi ini menjadikan Solo sebagai salah satu kota tujuan wisata, baik mancanegara maupun domestik Pergelaran wayang orang biasanya dimainkan oleh pria dan wanita sesuai tokoh yang diperani. Wayang orang wanita ini unik karena seluruh tokoh diperankan oleh para wanita yang sibuk dengan berbagai profesi. Namun mereka disatukan dengan semangat yang sama demi melestarikan budaya tradisional bangsa Indonesia. Pementasan wayang orang "Srikandi-Srikandi" di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo tersebut melibatkan sekitar 50 pemain dan pengiring musik gamelan yang seluruhnya adalah wanita. |
Malam Satu Suro
Belajar
menelusuri sejarah, tradisi dan budaya yang masih melekat erat di
kalangan rakyat Ngayogyokarto Hadiningrat. Sembari jalan-jalan
menelusuri Yogyakarta di waktu malam, malam satu Suro, menjadi momen
yang tepat. Malam satu Suro, bagi sebagian orang jawa dikaitkan dengan
hal-hal mistis dan berfilosofis. Sebenarnya, diluar liputan, ada banyak
latar belakang historis peristiwa penting yang terjadi di bulan Suro,
khususnya penganut agama Islam, yang tentu saja berafiliasi dengan
kebudayaan Mataram Jawa-Hindu.
Latar
belakang dijadikannya 1 Muharam sebagai awal penanggalan Islam oleh
Khalifah Umar bin Khathab, seorang khalifah Islam di jaman setelah Nabi
Muhammad wafat. Awal dari afiliasi ini, konon untuk memperkenalkan
kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Maka tahun 931 H atau 1443
tahun Jawa baru, yaitu pada jaman pemerintahan kerajaan Demak, Sunan
Giri II telah membuat penyesuaian antara sistem kalender Hirjiyah dengan
sistem kalender Jawa pada waktu itu.
Waktu
itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur
Belanda di Batavia, termasuk ingin “menyatukan Pulau Jawa.” Oleh karena
itu, dia ingin rakyatnya tidak terbelah, apalagi disebabkan keyakinan
agama. Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan.
Pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat
sambil dilakukan pengajian yang dilakukan oleh para penghulu kabupaten,
sekaligus dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri.
Akibatnya, 1 Muharram (1 Suro Jawa) yang dimulai pada hari Jumat legi
ikut-ikut dikeramatkan pula, bahkan dianggap sial kalau ada orang yang
memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul.
Lebih detail tentang riwayat malam Satu Suro bisa dibaca disini.
Tradisi Jawa
Malam
hari, tanggal 19 Januari 2007, banyak orang melakukan ritual menjelang 1
Sura tahun Jawa 1940 yang jatuh esok paginya, Sabtu Pahing, dengan
caranya sendiri-sendiri. Tidak sedikit, untuk dapat dikatakan demikian,
warga yang melakukan ritual Mubeng Beteng, hingga memacetkan lalu-lintas di seputaran kraton dan jalan protokol. Dengan Tapa Bisu,
atau mengunci mulut, tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini.
Yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri
atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di
esok paginya. Kungkum atau berendam di sungai besar, sendang
atau sumber mata air tertentu, menjadi aktivitas yang menurut banyak
cerita masih mewarnai tradisi masyarakat Yogyakarta. Yang paling mudah
ditemui di seputaran Yogyakarta, yang masih menjunjung tradisi dengan
filosofis tinggi, adalah Tirakatan dan Pagelaran Wayang Kulit. Begitu pula di Pantai Parangkusumo, kawasan Parangtritis, Kretek, Bantul Yogyakarta.
Pantai Parangkusumo
Dari
sekian acara yang tentu saja berlangsung di tiap pelosok Yogyakarta,
Kawasan pantai Parangtrisits, khususnya Parangkusumo, memiliki daya
tarik tersendiri di malam satu Suro. Labuhan, menjadi ritual yang tidak
asing di telinga masyarakat Jawa. Ritual ini menjadi ritual tahunan
Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Parangkusumo memang biasa menjadi
tempat berlangsungya prosesi ini. Hal ini yang menarik perhatian saya
untuk berkunjung kesana di malam satu Suro. Namun, perkiraan saya salah.
Labuhan dilangsungkan pada pagi hari tanggal 15 Suro. Hal ini yang saya
dapat dari penuturan warga sekitar.
Wayang
dan Nyekar di Cepuri Parangkusumo, menjadi dua kegiatan utama pada
malam itu. Meski begitu, pengunjung dan masyarakat yang datang tidak
hanya disuguhi keramaian pagelaran wayang dan keheningan suasana Cepuri
yang mistis. Tumpah ruahnya pengunjung tiap tahunnya dimanfaatkan betul
oleh pedagang kembang, makanan, dan berbagai jasa lainnya. Tukang obat
tradisional, pijat tradisional dan -kalau saya tidak salah mengartikan- “wanita pendamping” tampak bertebaran menjadi konsekuensi atas berjubelnya pengunjung.
Wayang Kulit Semalam Suntuk
Tradisi
dan warisan budaya jawa ini tak pernah lepas dari tiap momen penting,
khususnya adat, di Yogyakarta. Apalagi malam satu Suro di kawasan pantai
selatan dengan segala macam pernak-pernik mistisnya.
Dijubeli
ratusan pengunjung yang berbaur dengan pedagang dan hiruk pikuknya lalu
lalang kendaraan bermotor tidak mengurangi khidmatnya pagelaran wayang
malam itu.
Cepuri Parangkusumo
Merupakan
area tempat bersandingnya dua batu yang dikeramatkan. Batu Kyai
Panembahan Senopati yang lebih besar terletak di sebelah selatan batu
Kanjeng Ratu Kidul, yang keduanya dipagar mengeliling dengan satu
pintu/gapura masuk.
Kembang,
dupa dan sesaji menjadi obyek yang tidak lepas dari tempat keramat
macam ini. Apalagi di malam satu Suro, tidak sedikit peziarah yang datang dan berdoa di tempat ini, ditemani aroma dupa dan bunga yang menusuk hidung.
Diantara
rombongan peziarah yang silih berganti masuk ke area Cepuri, ada
seorang pemuda yang dengan khusyuk nya berdoa di sebelah batu Panembahan
Senopati dengan pakaian jawa lengkap. Awalnya, saya, dan mungkin
pengunjung lain, mengira beliau adalah juru kunci. Namun, sang juru
kunci sendiri duduk bersila tepat di depan gapura setelah pengunjung
masuk. Tiap pengunjung yang masuk wajib menemui juru kunci dan
menyalakan dupa, sebelum menabur bunga dan berdoa.
Rombongan
peziarah yang nampak berbeda dari sebagian lainnya adalah rombongan
peziarah dari Kraton Solo, begitu informasi dari penduduk sekitar.
Mereka menggunakan pakaian jawa lengkap dengan sesaji dibungkus kain
putih dan hijau, duduk bersila disamping dua batu tersebut.
Puro Pakualaman
Pagelaran
wayang kulit semalam suntuk banyak diselenggarakan warga di pelosok
kota. Begitu pula di kawasan Puro Pakualaman Yogyakarta. Kraton “Kedua”
di kawasan Yogyakarta ini pun dihadiri warga yang ingin menghabiskan
malam satu Suro dengan tradisi tahunannya. Berbeda dengan kawasan
pesisir Parangkusumo, di Puro Pakualaman ini, warga yang hadir hanya
ditampung secara “resmi” dengan sebuah tenda. Selebihnya warung dan
pedagang kaki lima yang biasa mangkal di halaman Kraton pun tak lepas
menjadi tempat warga menikmati sajian wayang kulit.
Bahkan,
warga yang datang dengan kendaraan roda dua pun enggan beranjak dari
atas sepeda motornya, dan terlihat sangat menikmati sajian wayang kulit
semalam suntuk. Begitu pula dengan penarik becak. Masih duduk di atas
sadel tempatnya mengayuh kendaraan roda tiga ini. Bahkan kursi
penumpangnya pun dijadikan tempat nyaman rekan penarik becak lainnya
untuk duduk berselimut sarung dan menikmati malam panjang itu.
0 komentar:
Posting Komentar